Tulisan ini disusun akibat tulisan ini.
*tarik napas*
*hembuskan perlahan*
Saya percaya bahwa di kehidupan demokrasi ini, setiap orang berhak bersuara dan berpendapat. No matter how silly their opinion. Or how wrong it is. Namun di kehidupan berdemokrasi ini pula, menurut saya, dibutuhkan kebijaksanaan bagi tiap orang untuk mengemukakan pendapatnya, terutama jika mengomentari persoalan yang memang bukan keahliannya. Saya tahu bahwa ego untuk terlihat pintar, tahu banyak, dan kritis itu jamak dimiliki Public Figure dibalik tameng ‘sekedar berbagi’, apalagi di masa dimana pemikiran kita bisa disebarkan dengan mudah via media sosial. Rasanya effortless, tapi dampaknya di luar batas kontrol kita.
Lah terus lu ngapain, Ta, nulis-nulis ginian? Emang situ Expert?
Engga. Tapi gatel pengen menyoroti bahwa tulisan yang dilampirkan di atas, yang sudah di-like 13 ribu kali dan dibagi 5000 kali (saat tulisan ini disusun), sangat emosional dan mengabaikan banyak logika dasar. Bawa-bawa data statistik dan angka-angka ke tulisanmu bukan otomatis membuat tulisanmu jadi benar, loh. Dan menulis dengan emosional itu lebih baik dihindari, terutama untuk tulisan-tulisan non-fiksi.
Kita Baik-Baik Saja (Sedikitnya) Karena Pemerintah
Menafikan peran pemerintah itu menurut saya termasuk perbuatan kufur nikmat. Dengan penghasilan 3-4juta Beliau bilang hidup kita tetap baik-baik saja tanpa pemerintah. Bisa hidup cukup meskipun pas-pasan di Ibukota, agak kena macet di jalanan dan sedikit ngantri kalau mau berobat. But it’s okay he said. Malah Pemerintah seringnya ngerepotin karna harus bayar pajak, urus surat-surat, bikin e-KTP dkk.
Tau nggak? Justru karena ada Pemerintah, orang-orang berpenghasilan 3-4juta bisa hidup dengan layak di Jakarta. Tau nggak kalau nilai Penghasilan Wajib Pajak Pribadi di Tahun 2016 diturunkan jadi 54juta per tahun? Artinya, gaji 3-4juta per bulan tidak lagi wajib bayar pajak. Bisa diliat di sini. Tau nggak kalau ‘Agak kena macet sedikit’ itu karena transportasi umum di Indonesia itu terjangkau banget. Macet sih, padet sih, berkali-kali mengecewakan sih, tapi itu juga yang bikin orang-orang dengan penghasilan 3-4juta per bulan masih bisa hidup berkecukupan di Jakarta. Dan tau nggak? Yang bikin orang-orang ini juga masih bisa berobat dengan ‘sedikit ngantri’ itu ya BPJS. Program Asuransi Kesehatan Resmi dari Pemerintah. Dan ini berlaku juga untuk orang-orang dengan penghasilan di atas 3-4juta per bulan.
Kita bisa bilang kita kaya dan berkecukupan dengan penghasilan 10juta per bulan, bisa jalan-jalan ke luar negeri, nongkrong di kafe-kafe elit, dan menghabiskan akhir minggu di mall. Tapi sekali kita divonis sakit parah, baru akan terasa bahwa jasa kesehatan di Indonesia itu mampu mengubah yang tadinya ‘mampu’ jadi ‘melarat’ dalam semalam. Fasilitas-fasilitas kesehatan seumur hidup, misalnya cuci darah, atau obat-obatan ODHA bisa dinikmati dengan harga yang masuk akal dengan BPJS. Dan kita masih mau bilang kita nggak butuh Pemerintah?
Kita bisa jalan-jalan hingga ke luar negeri, sedikit banyak karena Pemerintah pula. Jaringan diplomasi yang membuat kita diterima untuk bertamu ke negara-negara lain, beberapa di antaranya bahkan tanpa harus menyertakan visa. Nggak cukup mampu untuk liburan ke luar negeri? Beasiswa Pemerintah untuk sekolah di luar negeri ada banyak sekali jenisnya, dan sudah bukan rahasia umum kalau pendidikan adalah salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
PLN bukan Dinas Sosial
Terakhir kali saya cek sih, PLN itu masih BUMN. Bukan dinas sosial. PLN masih punya kewajiban untuk mencetak laba tiap tahunnya dan dilaporkan ke Dewan Direksi dan Pemegang Saham. Fakta bahwa masih ada daerah di Indonesia yang tidak memiliki akses listrik bukan berarti PLN ga boleh untung. Justru itu pertanda bahwa masih ada demand listrik yang belum digarap PLN di Indonesia.
Nominal 10 T itu relatif. Besar buat perseorangan bukan berarti cukup besar untuk organisasi dan/atau perusahaan. Nilai laba saja tidak cukup untuk menentukan apakah satu perusahaan sanggup untuk menerangi seluruh Indonesia, yang by the way butuh investasi dengan biaya tidak sedikit. Belum lagi menentukan apakah 7 juta rumah tanpa listrik tersebut adalah pasar yang cukup menguntungkan untuk PLN. Bahwa layanan PLN belum maksimal dan banyak kekurangan itu saya setuju, tapi upaya menyalurkan listrik ke seluruh pelosok Indonesia bukan perkara yang bisa selesai dalam semalam.
Uang itu relatif
Masih menyambung dengan masalah di atas; uang itu relatif. 10 T memang terdengar besar untuk nilai kekayaan individu, tapi buat laba perusahaan? Belum tentu. Buat investasi infrastruktur listrik ke daerah pelosok Nusantara?
Begitu pula dengan anggaran perjalanan dinas 34 T. Besar untuk orang biasa, tapi untuk pemerintahan dengan negara seluas Indonesia? Di tulisan tersebut tidak ada informasi bahwa 34 T itu meliputi anggaran perjalanan dinas siapa saja? Kemana saja? Dengan tujuan apa? Bagaimana kita bisa mengkategorikan anggaran tersebut overbudget atau underbudget tanpa data yang jelas tentang rencana dan peruntukannya? Fakta bahwa di lapangan, anggaran pemerintah banyak diselewengkan, dikorupsi, dan realisasinya menyimpang, saya setuju, tapi nyinyir tentang dana anggaran tidak menyelesaikan apa-apa. Hanya pelampiasan emosi saja. Simply nyinyir.
(Politik) Indonesia adalah Tentang Kita. Tanggung Jawab Kita.
Jangan percaya sama siapapun yang bilang bahwa politik Indonesia bukan tentang kita. Bahwa kita ga butuh-butuh amat Pemerintah. Bahwa apapun yang dilakukan Pemerintah ga banyak artinya buat kita. Keterlibatan kita di politik, sekurang-kurangnya melalui suara saat pemilu, menentukan banyak nasib rakyat Indonesia lain yang suaranya belum tentu didengar atau belum punya akses untuk menyuarakan pendapatnya. Ketika saat ini kita bisa: makan dengan layak, mendapatkan akses internet dan listrik 24jam, menikmati air bersih dengan mudah, ketahuilah bahwa masi ada banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa merasakan itu semua. Dan mereka adalah juga tanggung jawab kita. Bukan cuma Pemerintah. Bukan cuma PLN atau PDAM.
Kalau kata ‘kerja’ artinya cuma sebatas pergi ke kantor tiap hari, punya penghasilan tetap, dan senin-jumat tidak nganggur; itu baru meliputi definisi kedua berdasarkan KBBI.
Definisi pertamanya? Melakukan sesuatu.
Melakukan apa saja yang bisa mengubah nasib kita dan sekitar kita untuk menjadi lebih baik. Melakukan sebanyak yang kita bisa buat tanah air kita. Bukan karena kita PNS atau Anggota DPR atau Presiden. Sesederhana karena kita lahir, hidup, dan mencari penghidupan di negeri ini, lengkap dengan suka dukanya. Mungkin karena itu semboyannya jadi ‘Kerja’ yang diulang 3x. Karena satu saja tidak cukup. Sendirian saja tidak mampu. Butuh banyak tangan, banyak usaha, dan waktu yang panjang untuk mengubah Indonesia. Dan tidak ada jaminan langsung berhasil juga.
Tapi daripada nyinyir?