Buat Apa Ada Pemerintah?

Tulisan ini disusun akibat tulisan ini.

*tarik napas*
*hembuskan perlahan*

Saya percaya bahwa di kehidupan demokrasi ini, setiap orang berhak bersuara dan berpendapat. No matter how silly their opinion. Or how wrong it is. Namun di kehidupan berdemokrasi ini pula, menurut saya, dibutuhkan kebijaksanaan bagi tiap orang untuk mengemukakan pendapatnya, terutama jika mengomentari persoalan yang memang bukan keahliannya. Saya tahu bahwa ego untuk terlihat pintar, tahu banyak, dan kritis itu jamak dimiliki Public Figure dibalik tameng ‘sekedar berbagi’, apalagi di masa dimana pemikiran kita bisa disebarkan dengan mudah via media sosial. Rasanya effortless, tapi dampaknya di luar batas kontrol kita.

Lah terus lu ngapain, Ta, nulis-nulis ginian? Emang situ Expert?

Engga. Tapi gatel pengen menyoroti bahwa tulisan yang dilampirkan di atas, yang sudah di-like 13 ribu kali dan dibagi 5000 kali (saat tulisan ini disusun), sangat emosional dan mengabaikan banyak logika dasar. Bawa-bawa data statistik dan angka-angka ke tulisanmu bukan otomatis membuat tulisanmu jadi benar, loh. Dan menulis dengan emosional itu lebih baik dihindari, terutama untuk tulisan-tulisan non-fiksi.

Kita Baik-Baik Saja (Sedikitnya) Karena Pemerintah
Menafikan peran pemerintah itu menurut saya termasuk perbuatan kufur nikmat. Dengan penghasilan 3-4juta Beliau bilang hidup kita tetap baik-baik saja tanpa pemerintah. Bisa hidup cukup meskipun pas-pasan di Ibukota, agak kena macet di jalanan dan sedikit ngantri kalau mau berobat. But it’s okay he said. Malah Pemerintah seringnya ngerepotin karna harus bayar pajak, urus surat-surat, bikin e-KTP dkk.

Tau nggak? Justru karena ada Pemerintah, orang-orang berpenghasilan 3-4juta bisa hidup dengan layak di Jakarta. Tau nggak kalau nilai Penghasilan Wajib Pajak Pribadi di Tahun 2016 diturunkan jadi 54juta per tahun? Artinya, gaji 3-4juta per bulan tidak lagi wajib bayar pajak. Bisa diliat di sini. Tau nggak kalau ‘Agak kena macet sedikit’ itu karena transportasi umum di Indonesia itu terjangkau banget. Macet sih, padet sih, berkali-kali mengecewakan sih, tapi itu juga yang bikin orang-orang dengan penghasilan 3-4juta per bulan masih bisa hidup berkecukupan di Jakarta. Dan tau nggak? Yang bikin orang-orang ini juga masih bisa berobat dengan ‘sedikit ngantri’ itu ya BPJS. Program Asuransi Kesehatan Resmi dari Pemerintah. Dan ini berlaku juga untuk orang-orang dengan penghasilan di atas 3-4juta per bulan.

Kita bisa bilang kita kaya dan berkecukupan dengan penghasilan 10juta per bulan, bisa jalan-jalan ke luar negeri, nongkrong di kafe-kafe elit, dan menghabiskan akhir minggu di mall. Tapi sekali kita divonis sakit parah, baru akan terasa bahwa jasa kesehatan di Indonesia itu mampu mengubah yang tadinya ‘mampu’ jadi ‘melarat’ dalam semalam. Fasilitas-fasilitas kesehatan seumur hidup, misalnya cuci darah, atau obat-obatan ODHA bisa dinikmati dengan harga yang masuk akal dengan BPJS. Dan kita masih mau bilang kita nggak butuh Pemerintah?

Kita bisa jalan-jalan hingga ke luar negeri, sedikit banyak karena Pemerintah pula. Jaringan diplomasi yang membuat kita diterima untuk bertamu ke negara-negara lain, beberapa di antaranya bahkan tanpa harus menyertakan visa. Nggak cukup mampu untuk liburan ke luar negeri? Beasiswa Pemerintah untuk sekolah di luar negeri ada banyak sekali jenisnya, dan sudah bukan rahasia umum kalau pendidikan adalah salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan taraf hidup manusia.

PLN bukan Dinas Sosial
Terakhir kali saya cek sih, PLN itu masih BUMN. Bukan dinas sosial. PLN masih punya kewajiban untuk mencetak laba tiap tahunnya dan dilaporkan ke Dewan Direksi dan Pemegang Saham. Fakta bahwa masih ada daerah di Indonesia yang tidak memiliki akses listrik bukan berarti PLN ga boleh untung. Justru itu pertanda bahwa masih ada demand listrik yang belum digarap PLN di Indonesia.

Nominal 10 T itu relatif. Besar buat perseorangan bukan berarti cukup besar untuk organisasi dan/atau perusahaan. Nilai laba saja tidak cukup untuk menentukan apakah satu perusahaan sanggup untuk menerangi seluruh Indonesia, yang by the way butuh investasi dengan biaya tidak sedikit. Belum lagi menentukan apakah 7 juta rumah tanpa listrik tersebut adalah pasar yang cukup menguntungkan untuk PLN. Bahwa layanan PLN belum maksimal dan banyak kekurangan itu saya setuju, tapi upaya menyalurkan listrik ke seluruh pelosok Indonesia bukan perkara yang bisa selesai dalam semalam.

Uang itu relatif
Masih menyambung dengan masalah di atas; uang itu relatif. 10 T memang terdengar besar untuk nilai kekayaan individu, tapi buat laba perusahaan? Belum tentu. Buat investasi infrastruktur listrik ke daerah pelosok Nusantara?

Begitu pula dengan anggaran perjalanan dinas 34 T. Besar untuk orang biasa, tapi untuk pemerintahan dengan negara seluas Indonesia? Di tulisan tersebut tidak ada informasi bahwa 34 T itu meliputi anggaran perjalanan dinas siapa saja? Kemana saja? Dengan tujuan apa? Bagaimana kita bisa mengkategorikan anggaran tersebut overbudget atau underbudget tanpa data yang jelas tentang rencana dan peruntukannya? Fakta bahwa di lapangan, anggaran pemerintah banyak diselewengkan, dikorupsi, dan realisasinya menyimpang, saya setuju, tapi nyinyir tentang dana anggaran tidak menyelesaikan apa-apa. Hanya pelampiasan emosi saja. Simply nyinyir.

(Politik) Indonesia adalah Tentang Kita. Tanggung Jawab Kita.
Jangan percaya sama siapapun yang bilang bahwa politik Indonesia bukan tentang kita. Bahwa kita ga butuh-butuh amat Pemerintah. Bahwa apapun yang dilakukan Pemerintah ga banyak artinya buat kita. Keterlibatan kita di politik, sekurang-kurangnya melalui suara saat pemilu, menentukan banyak nasib rakyat Indonesia lain yang suaranya belum tentu didengar atau belum punya akses untuk menyuarakan pendapatnya. Ketika saat ini kita bisa: makan dengan layak, mendapatkan akses internet dan listrik 24jam, menikmati air bersih dengan mudah, ketahuilah bahwa masi ada banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa merasakan itu semua. Dan mereka adalah juga tanggung jawab kita. Bukan cuma Pemerintah. Bukan cuma PLN atau PDAM.

Kalau kata ‘kerja’  artinya cuma sebatas pergi ke kantor tiap hari, punya penghasilan tetap, dan senin-jumat tidak nganggur; itu baru meliputi definisi kedua berdasarkan KBBI.

a.JPG

Definisi pertamanya? Melakukan sesuatu.
Melakukan apa saja yang bisa mengubah nasib kita dan sekitar kita untuk menjadi lebih baik. Melakukan sebanyak yang kita bisa buat tanah air kita. Bukan karena kita PNS atau Anggota DPR atau Presiden. Sesederhana karena kita lahir, hidup, dan mencari penghidupan di negeri ini, lengkap dengan suka dukanya. Mungkin karena itu semboyannya jadi ‘Kerja’ yang diulang 3x. Karena satu saja tidak cukup. Sendirian saja tidak mampu. Butuh banyak tangan, banyak usaha, dan waktu yang panjang untuk mengubah Indonesia. Dan tidak ada jaminan langsung berhasil juga.

Tapi daripada nyinyir?

 

Terbiasa Sendiri

Beberapa teman kemarin sharing betapa mereka, di umurnya sekarang, menikmati melakukan banyak hal sendirian. Katanya, daripada ribet mengatur janji dan menyamakan jadwal kesibukan, pergi sendiri terasa lebih simpel. Daripada harus menghabiskan energi untuk mendebatkan tujuan pergi atau jenis hiburan yang ingin dinikmati, jalan-jalan atau nonton sendiri itu menyenangkan. Lebih jauh lagi, mereka memang tidak berkeberatan melakukan banyak hal sendirian.

Hal yang sama juga berlaku dalam menjalin hubungan. Beberapa teman sharing bahwa mereka nyaman sendiri, dan secara sadar memang sedang tidak ingin menjalin hubungan spesial dengan siapapun. Bahkan ketika teman-teman yang lain sibuk membangun keluarga dan mengurus anak. Bukan kenapa-kenapa, cuma karna saat ini mereka lebih senang sendiri. Terbiasa sendiri.

Saya mengamini, sih. Saya sendiri nggak keberatan jalan-jalan, nonton, atau pergi belanja sendiri. Saya tahu caranya menikmati ‘me time‘ dan dalam banyak kesempatan, saya lebih suka sendirian, daripada ditemani. Beberapa teman menyatakan bahwa mereka bahagia sendirian dan saya mengerti itu. Bisa menikmati diri sendiri secara sadar dan bahagia itu menyenangkan dan membebaskan, maka tidak jarang opsi sendiri jadi jauh lebih baik daripada bersama-sama dengan orang lain.

Tapi waktu lewat bazaar ramadhan di Mesjid Pondok Indah semalam, saya langsung teringat kamu yang pasti suka diajak berbuka di sana, setelah sebelumnya salat magrib di mesjidnya. Kita akan pesan tiga menu berbeda untuk dimakan berdua; satu menu manis, satu menu asin, satu menu apapun yang saya mau.

Tapi waktu berjalan di lorong supermaket kemarin saya otomatis membandingkan 3 harga susu dengan merk yang berbeda. Bukan karna saya ingin membeli yang termurah, saya hanya bertaya-tanya merk mana yang akan kamu pilih.

Tapi waktu melihat Purnama malam ini, saya tidak tahu kemana saya harus kirim pesan ‘Malam ini bulannya cantik!’ seperti biasa. Nomormu sudah tidak bisa dihubungi. Dan kalaupun bisa, saya tahu bukan kamu yang menerima pesannya.

 

Mungkin orang-orang yang terbiasa sendiri, cuma lupa rasanya ditemani tanpa effort, tanpa berpura-pura, tanpa penolakan. Mungkin kita cuma lupa rasanya diinginkan, bahkan untuk melakukan hal-hal sesepele nonton atau berbelanja. Mungkin kita cuma lupa rasanya diterima dan disayangi bahkan dalam bentuk terburuk kita.

Atau mungkin orang-orang yang terbiasa sendiri tahu dengan siapa ia ingin ditemani, namun juga tahu kalau itu mustahil.

Body Positivity

Lebih kurang dua bulan yang lalu saya mendaftar kelas gym dengan PT tanpa woro-woro ke siapa-siapa. Tanpa check-in di socmed tiap latihan. Orang rumah bahkan gatau apa-apa. Kenapa? Ya ngga papa. Cuma ga pengen dapet tekanan dan ekspektasi berlebihan, aja, dari orang-orang. Target personal juga ga muluk-muluk kok awalnya, cuma supaya lebih banyak bergerak, keringetan, dan capek. Hehehe. Walaupun nggak bisa dipungkiri, berat badan turun dan badan singset bakal bikin seneng juga sih ^^v

Pertama kali latihan, saat memandang diri sendiri di cermin, dalam pakaian olahraga hitam-hitam, agak sedih juga sih. Tanpa gaya fashion dan ilusi warna, timbunan lemak di tubuh ini tak dapat dipungkiri. Begitu pula hasil timbangan dan pengukuran badan.

Seiring berjalannya latihan, di ruang yang dikelilingi cermin seukuran dinding itu, saya pelan-pelan jadi bisa mengapresiasi tubuh manusia. Bahwa tubuh ada bermacam-macam bentuknya, bahkan ketika timbangan menunjukkan angka yang sama. Bahwa tubuh manusia itu indah saat bergerak, otot-otot menegang dan mengendur, bervariasi mengikuti gerakan. Dan saya sedang tidak mengagumi tubuh model atau binaragawan. Saya bicara tentang tubuh manusia kebanyakan; tubuh saya dan teman-teman saya di kelas, yang jauh dari kesempurnaan ala-ala American Next Top Models.

Manusia sungguh ciptaan-Nya yang indah. Saya diingatkan kalau melompat itu menyenangkan. Berlari sekencang-kencangnya itu menantang. Berkeringat mungkin mengesalkan, tapi berpeluh setelah berjuang sekuat tenaga rasanya seperti pencapaian tersendiri. Sederhana, tapi memberi kebahagiaan tersendiri.

Saya jadi sedikit mengerti kalau bergerak itu salah satu bentuk membangun hubungan yang sehat dengan partner terpenting kita: tubuh. Selama ini saya lebih banyak menggunakan tubuh hanya sebagai ‘kendaraan’ saja. Buat bekerja, belajar, mondar-mandir kesana kemari, tapi lupa menjadikan tubuh saya partner yang setara dalam hidup. Bahwa mendengarkan kebutuhannya, merasakan bebannya, dan menerima dia apa adanya itu penting.

Jadi ingat beberapa pertengkaran yang terjadi di social media (maupun di dunia nyata) soal berat badan. Banyak yang bilang body positivity atau ‘big is beautiful’ campaign itu malah mengencourage orang untuk makin malas dan permisif dengan badannya. Banyak yang bilang kalau hinaan/ejekan untuk orang berbadan gendut tidak ideal itu bentuk motivasi supaya mereka berusaha. Well, saya ga menafikan orang-orang yang memang jadi termotivasi karena dirisak, sih. But is that healthy?

Hatred, just like love, can form energy, too. One powerful energy. But is that healthy?

Energi untuk berubah itu tidak hanya untuk mengubah badan, tapi juga nilai-nilai di dalam diri. Motivasi yang didapat dari merisak bisa saja mengubah berat badan dari obesitas jadi singset semampai, tapi kemudian menanamkan insecurity, untuk selalu tidak merasa puas sama diri sendiri. Untuk terus menerus membandingkan diri sendiri sama yang lain. Untuk terus menerus kecewa sama diri sendiri, kalau memang pada akhirnya tidak bisa se-ideal orang lain. Untuk terus menerus mengaitkan kebahagiaan diri sama hal-hal eksternal.  Ini bukan cuma tentang berat badan. Ada banyak hal-hal inferior lain yang lebih sulit diperbaiki daripada timbunan lemak: warna kulit, bentuk rambut, cacat fisik, bakat, bahkan juga tingkat kecerdasan.

Saya percaya bahwa cinta itu sumber kekuatan yang lebih besar daripada kebencian. Terutama cinta kepada diri sendiri (ceilah). Saya belajar ini dari teman-teman dan PT di gym, yang sama-sama tidak sempurna, tapi suportif ke satu sama lain. Yang gaya diet dan olehraga nya berbeda-beda tapi nggak ada yang mengklaim yang satu lebih baik dari yang lain. Yang menjadikan olahraga sebagai bagian dari kesenangan hidup, bukan kewajiban atau bahkan beban hidup. Saya mau percaya bahwa mencintai diri sendiri tidak sekadar bikin tubuh sehat dan kuat, tapi juga membuat kita lebih percaya diri, aktif, dan optimis, regardless of your shape. Di dunia yang keras ini, harusnya badan jadi partner setia yang mampu merefleksikan jiwa kita, bukannya nambah musuh.

Well, hasil latihan dua bulan ini sih, sejujurnya, mengecewakan. Berat badan malah naik sekilo. HEHEHEHE ^^ Tapi masa otot dan metabolisme meningkat cukup signifikan dan menuai banyak pujian karena sanggup konsisten latihan dengan bebat berat (Sumpah, ga ada apa-apanya dibanding beban hidup yang kupikul!). Saya bahkan tidak pernah tahu sebelumnya kalau tubuh saya sekuat itu. Selama ini saya pikir saya lemah; mudah sakit dan gampang pegel. Tapi mungkin selama ini yang lemah cuma pikiran saya, dan tubuh saya hanya sekedar merefleksikannya.

Sekarang saya sudah bisa tidur nyenyak enam jam tanpa henti, setelah sebelumnya berbulan-bulan tidur gelisah. Kali ini tidur saya tanpa tangis. Tanpa mimpi buruk. Nafsu makan saya (sayangnya) juga meningkat. Bahkan air mineral sekarang terasa enak buat saya. Saya sih ga pernah muluk-muluk berharap akan seoke badan Andien sih, tapi ternyata bikin kemajuan kecil-kecilan sama badan sendiri itu menyenangkan, dan bertambah pula satu lagi alasan untuk bersyukur ❤

Body Positivity, buat saya bukan berarti makan, mager, lalu otomatis merasa ‘Big Is Beautiful‘. Body Postivity harusnya dimulai dari mencintai tubuh kita dulu dengan sebaik-baiknya, baru memberikan yang terbaik yang kita bisa untuk menjaganya. Mungkin, seharusnya, jauh sebelum kita berkomitmen mencintai orang lain tanpa syarat, komitmen yang sama harus diterapkan dulu ke fisik sendiri.

 

Berbagi Hati Bukan Berbagi Uang

Awalnya karna abis dengerin curhatan gadis-gadis newlyweds yang gatau caranya ngatur keuangan yang bener, terutama ketika permasalahan keuangan rumah tangga mulai kompleks; susu bayi, cicilan rumah, biaya caesar, dst. Trus merembet ngomongin gaya keuangan masing-masing; ada yang dipercayakan 100% gaji suami, ada yang dikasih uang bulanan sama suami, ada yang bagi-bagi pos pengeluaran sama suami tapi tetep minta bulanan :p Trus satu orang nimpalin dengan info bitter kalau gasemua yang diakui suami-suami sebagai 100% gaji itu beneran 100%. Nah loh.

Sebagai HR Generalist kawakan yang sudah malang melintang di jagad pengelolaan sumber daya manusia +/- 2 taun (iya, ga lama ternyata), teman saya ini, sebut saja Novi, sudah jamak mengetahui kelakuan Bapak-Bapak yang walaupun uang gajiannya ditransfer langsung ke istri, tapi uang lainnya (uang dinas, uang rapat, bonus) ditransfer ke rekening lain tanpa sepengetahuan pasangan. Huft.

Gara-gara ini nih, jadi kepikiran: mungkin ga sih punya mahligai pernikahan (ceilaah) yang pengelolaan keuangannya terpisah? Kaya pacaran gitu loh: masing-masing punya rekening masing-masing dan memenuhi kebutuhan hidup dengan biaya masing-masing. Kalau mau hedon sendiri, terserah, tapi pasangan ga ikutan kere kalau tanggal tua datang. Kalau mau saling memberi, because you love each other, boleh-boleh aja, tapi ga ada kewajiban untuk setor sekian tiap bulan.

Bisa juga bagi-bagi pos yang disesuaikan dengan penghasilan masing-masing. Misalnya, kebutuhan sehari-hari ditopang penghasilan Istri sementara tanggung jawab menabung dan/atau cicilan dibiayai Suami. Tentu harus ada laporan keuangan yang transparan soal pos keuangan masing-masing, tapi keputusan finansial tetap dipegang kedua belah pihak sama rata.

Perjanjian Pranikah (Prenuptial Agreement) bisa jadi salah satu cara untuk menjembatani sistem pemisahan keuangan ini. Di perjanjian pranikah bahkan yang dipisahkan nggak cuma keuangan harian, tapi juga aset yang dimiliki sebelum dan sesudah pernikahan. Berkekuatan hukum, perjanjian ini mengikat dan sah di depan pengadilan, yang niscaya akan memberikan kemudahan saat pernikahan tidak dapat dilanjutkan lagi. Cumaa, ya itu, orang Indonesia masih merasa pamali kalau ngomongin masalah pisah harta sementara berharap tidak akan berpisah selama-lamanya~

But well, doesn’t life (sometimes) gets ugly?

Sebagai catatan, cara ini hanya akan berjalan dengan baik sepanjang kedua pasangan punya kemampuan pengambilan keputusan dan kemampuan finansial yang setara. Cara ini juga hanya akan berhasil kalau hubungan antar pasangan memang transparan dari awal, terutama soal pengelolaan keuangan dan riwayat hutang.

Pemisahan Keuangan juga akan jadi lebih kompleks ketika anak lahir, karna berarti ada lebih banyak pos-pos yang harus dibagi dan ada ‘tuntutan’ bagi kedua orangtua untuk membiayai anak-anaknya dengan adil. Belum lagi permasalahan pembagian warisan ketika anak-anak beranjak dewasa.

CMIIW, tapi di Islam, ada kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah lahir batin kepada Istri. Suami yang tidak memenuhi kewajiban tersebut selama tiga bulan berturut-turut berhak dituntut cerai oleh Istrinya. Nah, ini nih yang bikin cara ini agak sulit diterapkan kalau mau pernikahannya berlandaskan agama.

Plus, pemisahan keuangan lewat perjanjian berkekuatan hukum bikin kemampuan finansial pasangan nggak bisa digabung (also this time, CMIIW) misalnya Istri mau ngajuin KPR, batas limit KPR yang bisa diambil ya sebatas kemampuan finansial Istri, karna yang nyicil juga 100% Istri. Kalau kedua pasangan sama-sama paspasan, tentu sulit bertahan hidup dengan status ‘menikah’ tapi kemampuan finansial ‘lajang’.

Sejauh ini sih, yang kepikiran baru ini aja. Di masa depan kemungkinan akan ada update lagi soal masalah Perjanjian Pranikah atau gaya pembagian manajemen keuangan lainnya. If any of you have interesting ideas regarding this matter, just let me know.

Disclaimer: Postingan ini hanyalah postingan halu. Sesungguhnya penulis, boro-boro punya aset finansial yang bisa dibagi, pasangan buat berbagi juga belum ^^

#22 Kepada Tuhan

Kepada Tuhan,

Tuhan saya yang pemurah telah membantu saya untuk melihat hidup dengan cara saya; cara yang mungkin tidak dilihat orang lain dan saya bersyukur untuk itu. Untuk hal-hal yang Engkau ambil dan Engkau beri, terima kasih. Rasa-rasanya, seperti yang selalu saya minta, saya memang tidak tumbuh dewasa untuk menjadi benar atau menjadi salah. Saya tumbuh untuk menjadi diri saya sendiri. Sulit memang, terlalu banyak persimpangan dan saya sering sekali bimbang. Meski begitu saya tahu Engkau masih disana, tersenyum dan berkata ’tidak apa-apa, jangan takut’. Dari dulu selalu begitu. Dan saya belajar untuk berani, sedikit-sedikit.

Terima kasih untuk mengirim keluarga yang lengkap. Kami masih bersama-sama disini. Empat orang. Tidak lebih tidak kurang. Terima kasih untuk tawa-canda di mobil. Terima kasih untuk makanan yang lengkap dan empat orang yang masih berkumpul di ruang keluarga. Terima kasih untuk tempat tidur nyaman buat kami berempat. Terima kasih untuk ’rumah’, tempat saya akan selalu kembali.

Terima kasih telah mengirim sahabat-sahabat dalam tiap getir dan gembira. Krayon-krayon saya yang sempurna. Tidak banyak memang, tapi siapa yang peduli? Persahabatan tidak bisa dihitung dengan statistika. Terima kasih telah mengembalikan teman-teman lama, dan menambah teman-teman baru. Setiap saat.

Terima kasih telah memberi satu langkah baru untuk mendekati impian. Terima kasih untuk semburan semangat setiap kali saya lelah. Terima kasih untuk uluran tangan tiap kali saya terjatuh dan ogah bangkit sendiri. Terima kasih untuk kesediaan mendengar keluh kesah dan airmata saya, sekalipun saya tidak selalu mau mendengarMu.

Terima kasih untuk meminjamkan Pangeran-kecil-tapi-sok-besar saya tersayang . Saya benci leluconmu dalam kehidupan percintaan saya, but well..i cant even forbid my heart to laugh. Terima kasih. ( Ada doa yang jauh lebih panjang tentang ini, wait for me!)

Terima kasih untuk segala aral yang melintang. Terima kasih sudah membuat saya bingung dan bimbang. Saya tahu hidup tidak mudah, tapi harapan selalu ada kan? Terima kasih untuk menjaga harapan itu tetap ada. Terima kasih untuk selalu berada disini.

 

Terima kasih telah menjaga bumi dan semesta berputar pada porosnya.

#15 Untuk Ibu Pertiwi

Untuk Ibu,

Maaf, Bu. Kami terlalu banyak meminta dan tak habis-habis berkeinginan. Kami mengambil dan menghabisi, seringkali lupa untuk berbagi. Sedang kamu tak pernah berhenti memberi. Tak putus-putus mengasihi segala yang bernaung kepadamu. Cinta kami bersyarat bahkan untuk sesama saudara kami. Cintamu tidak.

Maaf, Bu. Kami sibuk bertengkar setiap hari. Tentang segala hal yang membuat kami berbeda. Padahal kamu sehari pun tak pernah membenci dan memang tak pernah mengajarkan kami untuk menyakiti. Yang terhampar dari Sabang sampai Merauke adalah putra-putrimu dan cintamu tak pernah membeda-bedakan mereka semua. Cintamu hanya ingin mengasihi sama rata.

Maaf, Bu. Kami belum bisa membuatmu bangga. Kami hanya sekumpulan pecundang, yang tak seluruhnya paham tentang arti hidup di tanah air. Kami cuma sekumpulan pengecut yang tak tahu kemana harus melangkah. Bagaimana harus membuatmu bahagia sekaligus berdaulat. Kami mengecewakan, Bu. Kami tahu itu. Namun percayalah kami mencintaimu dengan semua yang kami punya, Bu.

Bersabarlah, Bu. Esok kami masih akan mencoba membuatmu bangga. Mungkin tidak serta merta berhasil. Mungkin banyak dari kami yang akan gagal lagi. Mungkin kami masih akan lebih banyak meminta daripada memberi. Masih lebih sering membenci (karena itu lebih mudah) daripada mencintai. Dan masih akan tidak tahu kemana hidup ini akan menuju. Tapi yakinlah, Bu, yakinlah. Dada ini akan selalu merah putih warnanya dan sejauh apapun terpisah, Engkau di sanubariku selamanya.

 

peluk sayang,

 

Anak-anakmu.

Over-Three-Months-Draft

*had been in personal draft for over three months, i finally have courage to post it in response to my friend’s provocative thoughts. Nothing’s important, i just want to tell him, ‘I feel you, bro’ :>

So, one day, when I was still bustling with my final project, I overheard some conversation between an interviewer and a candidate of their sales representatives. We were at a coffee shop in Bandung and at the moment there were only the three of us. I was (pretend to be) busy doing my 3d while they were sitting behind my back; talking about future.

Long story short, the interviewer said she did not satisfied with the answer of the candidate, when he said he did not really know his passion, except to do as best as he could. She told him that everyone should have passion and drove his entirely life to reach that. A dream (a really big one) is a must. How can a young-clever-man like him did not have passion in anything?

I was taken aback at that time.

Here I am, two years from that events and still cannot find my own passion. I’ve already asked that same question several times, mostly in interviews, yet still unable to answer it (sometimes I lied, but I bet everyone can see it). I’ve learnt so much for the past two years, meeting so many new people, learning so many new things, but No, I still do not know if I am willing to engage myself to some specific goals for the rest of my life.

Sure, being well-known for what you’re really good at is cool. Have a dream and chasing it with all your might is swell. And knowing what to do will really secure your future and expectation, plus you get to answer various hard question in Lebaran ( ‘habis ini mau ngapain?’, ’kenapa gak jadi dosen/pns/pengusaha aja?’, ‘kapan rencana nikah?’ etc.) with confidence. However, in my case, life does not happen that easy.

Some people are so passionate about specific things, become really good at it, and more people start recognize them because of that. That is good, really. There are also some people who easily get curious about many things, from fashion to world war and easily get distracted, too. There are some people that enjoy doing various things, and got bored once it became a routine. There are people who have so many dreams and at the end of the day afraid that today’s dreams will hinder tomorrow’s dream. Oh wait, maybe that’s just me.

In the meantime, our society today is a ‘branding’ society; it is easier to be recognized if you have a label attached to your forehead; who are you, what you do, and what you are good at. The definition of success become more complicated, but at the same time, easier to measure; how good you look at your Instagram or LinkedIn. From social media, your daily achievement is displayed and commented and judged. Meh, I think that’s why I start hating it.

I am afraid I can see my own step towards oblivion (to paraphrase your term) in my own Facebook home. Or Path. I am afraid people will start posting comments or talking to their friends and family “She used to be so brilliant, I don’t know why she end up do nothing in her life.”

But, what is ‘oblivion’ exactly?

Is Norman Kamaru is oblivious? Or Ferry AFI? Who’s not? Monalisa? Steve Jobs?
Who should we look up to? Dian Sastro, who always look effortlessly perfect in media? Or Alan Turing, whose popularity has only raising after The Imitation Game despite his invention had already became our primary needs since high school?

Should our name be written in history or at least Wikipedia? Or can we accept the fact that there are so many people doing so much things in their life without proper publication?

Is it a must to gain recognition from our society, even if it is as simple as ‘love’ or ‘like’ button? Or do good deeds always give meanings in our soul, even if God is the only one that watching? Will diamond still be a diamond even in dog’s mouth, or today, you need a million views in Youtube to be recognize as real diamond?

p.s: maybe passion is just like treasure or soul mate or lottery; some people lucky enough to find it in life. Most people don’t.

Ibu sudah pergi…

Ibu sudah pergi meninggalkan kita. Tidak. Mana mungkin ibu meninggalkan putra-putrinya. Saat ibu pergi, dia justru datang dari kampung halaman nun jauh di sana, menuju tempat terdekat dalam diri kita. Saat ibu pergi, saat itulah ibu sangat hadir. Setiap saat ibu akan menunggu di salah satu sudut sanu bari, menunggu sapaan doa-doa kita. Jika hati kita tidak berkabut (dan kita tidak membiarkannya berkabut) kita akan menyaksikan senyumnya membalas sapaan doa-doa kita.

Ikbal Maulana :’)

The Weaker One

“You know that saying, ‘The one who loves more is the weaker one’?”

“You don’t become the weaker one because you love more. You become the weaker one because you’re not free at heart.”

“Free at heart?”

“Not to worry of needing to get back as much as you give… but knowing that being able to love is enough to be okay and happy. That’s what it means to be free at heart.”

(Taken from It’s Okay, That’s Love)

I’ve always been the weaker one in each romance I’ve ever been into. And when it comes to the ending, I always the one who left behind, crying and whining why it has to be over even though I’ve loved so much. And at the same time, questioning why I haven’t stop loving so much even though it is already over.  I often wonder if it is indeed my habit to never stop loving. Is it my nature to never (even think about) got bored first, and finding that some relationship is just so easy to go sour? Will I ever get bored someday, long past my marriage? or will I still this madly in love even when I turn 80?

I was worried so much till the thoughts of it always haunt me to every relationship I had. I’m afraid to be left (again), I’m afraid to be hurt (again), I’m afraid to be told that this whole thing was not working, while I thought I did everything for the sake of love. Well, listen to myself, am I really a lunatic?

It is just recently since I understand that all of my past relationship was never okay, for both of us. When it come to an end, actually I had known it way before (I am super sensitive so it is so easy for me to notice, actually) but I decided not to see it. I held on my heart and pretend that we were okay. I lied and lied, even to myself, just to protect my heart. It was useless, my heart always broke into pieces anyway.

Those conversation above explain it very well. All of my relationship’s over not because I loved too much. It, maybe, has nothing to do with amount of any love involved. It just life happens. We met. We were in love. We kissed. And at some point, realized that this whole thing was not working. And broke up. And moved on. That simple.

For years I refuse to see that. While believing that I am ‘the weaker one’, I indeed demand things too much and end up hurting myself because of all the dreams and wishes and cheesy hopes to be treated like a princess. While telling myself that I loved someone whole heartedly, I also keep worrying to be treated the same, and getting as much as I gave, by my own standard.

I know this is a bit too personal to be posted on blog, even I write it in English because I’m ashamed to write it in bahasa. But I really aware that I may not alone in feeling this and this is the only way for me to sharing those conversation above (if you can, I strongly recommended the drama). Somehow those conversation put me in ease just because I finally know the words to explain my understanding on that matter.

It is not like I say I already way past this matter right know. I’ve become more careful and a lot bitter in romance but I think I become more realistic, and in a way, wiser, too. I am not saying that I stop being in love too deep like I used to be. I think I will always fall in love too deep with anyone I decide to have relationship with, because if it is not, it does not worth any relationship at all. Why would you be in a relationship with someone you just love ‘a bit’?

I think I will always be ‘the weaker one’, but this time with full understanding that the happiest thing I ever get is not to be loved back as much as (I think) I have loved, but the ability to love that much itself. The joy of having someone you love so much, the chance to love them right and the ability to pray for them just because their happiness is more important than yours. They said the ‘weaker one’ is always the happiest one, because we value even the smallest act of love, and doing the biggest effort to love. And I am very proud of that.

If you said that you are on your way to become more mature, I’d say that I, too, am on my way to understand my heart and yours better.